Pekerja Kerah Biru Kehilangan Kerahnya (Opini Hari Buruh 1 Mei)
-->
Kategori Berita

Label

Iklan

Header Menu

Jumat, 01 Mei 2020

Pekerja Kerah Biru Kehilangan Kerahnya (Opini Hari Buruh 1 Mei)


Oleh: VERI DIAL ARYATAMA, Jurnalis

Seratus tiga puluh empat tahun silam, tepatnya 1 Mei 1886 di Amerika Serikat, 300 ribu lebih pekerja kerah biru alias buruh mengukir sejarah mogok kerja besar-besaran.

Mogok kerja kala itu merupakan buntut dari emosi buruh yang membuncah. Mereka menganggap jam kerja teramat panjang tanpa jeda yang manusiawi, sehingga waktu individu untuk beristirahat dan rekreasi terkorbankan.

Masih di tempat yang sama, tiga hari setelahnya, tepatnya 4 Mei 1886. Kaum buruh kembali menggelar aksi. Kali ini massa yang datang lebih besar dari sebelumnya. Bentrok dengan polisi pun tak terelakkan.

Polisi disana menembaki para demonstran, ledakan bom terjadi. Akibat kerusuhan antara buruh dan polisi, ratusan buruh tewas, tak sedikit yang luka-luka. Jangan tanya para pemimpin aksi mereka. Sebab mereka ditangkap lalu dihukum mati, usai peristiwa itu mereka dikenang sebagai Martyrs; orang-orang yang berkorban sampai mati.

Sebagaimana Trade Union Right Centre menyampaikan; Tiga tahun berselang, pada 1889. Kongres sosialis internasional di Paris, Perancis menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional yang peringatannya kembali dikenang hari ini, Jum’at 1 Mei 2020.

Di Indonesia, kaum buruh ‘totok’ punya pahlawannya sendiri. Diantaranya ialah Marsinah, Marsinah mati muda pada masa orde baru akibat terlalu lantang memperjuangkan hak-hak buruh yang dinilai jauh dari kata layak.

Ia menuntut pabrik tempatnya bekerja agar menaikan upah buruh namun permintaannya ditolak. Kabar yang beredar ia diculik lalu mayatnya ditemukan di tengah hutan dengan luka memar disekujur tubuhnya; sebelum dibunuh ia diperkosa terlebih dahulu. Begitu kisah kelamnya.

Tak heran, Jika legend literatur tanah air Sapardi Djoko Damono marah atas apa yang terjadi terhadap Marsinah. Kemarahan Pak Sapardi, abadi dalam sajak berjudul ‘Dongeng Marsinah’ yang bagi pendengar medioker  seperti saya pada sajak itu tersimpan pesan tingkat tinggi.

Kini, tidaklah sulit membedakan mana pekerja kerah biru lalu mana pekerja kerah putih. Biasanya saat peringatan MayDay pekerja kerah biru paling dominan memenuhi jalanan untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang tak kunjung terpenuhi dengan hadangan yang berbeda-beda pada tiap generasinya.

Nasib para buruh kian menjadi. Belum lagi usai penolakan Omnibuslaw RUU Cipta Kerja, pekerja kerah biru itu justru tak sedikit yang kehilangan kerahnya karena ter-PHK.

Dikutip dari m.detik.com Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemerintah agar mewaspdai lonjakan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin. “ Skenario paling berat akan ada tambahan 3,78 juta orang miskin dan penambahan pengangguran 5,23 juta orang,” ujar Lestarie, yang akrab disapa Rerie.

Apa yang dikhawatirkan Rerie sejatinya bukanlah menakut-nakuti. Realita itu makin nyata ketika dunia disibukkan dengan penanganan covid-19. Banyak pekerja kerah biru dirumahkan oleh pabrik atau perusahaan tempatnya bekerja.

Persoalan ini kian kompleks ketika mereka yang kehilangan pekerjaannya terpaksa harus meninggalkan zona merah covid-19. Masalah lain muncul, pemerintah ramai-ramai menyekat mereka yang pulang kampung (pulkam), mudik, dua kata terakhir tafsirkan sendiri.

Terlepas dari kekhawatiran massal manusia dari zona merah itu terpapar covid19 atau tidak, tersimpan cerita pilu dibalik kepulangan mereka. Mereka pulang karena kehilangan kerahnya, tak makan di perantauan, di ibu kota biaya hidup tak gratis. Teman seperkopian berkelakar disana “kentut pun bayar”. Atas segudang masalah yang dihadapi itu mereka lalu memutusukan pulang ke tanah kelahirannya kendati dilarang.

Bagi yang lajang, masihlah enak diurus atau hidupnya ditanggung orang tua mereka. Tapi coba bayangkan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan tetapi punya anak dan istri.

“ Kau tahu, aku punya istri dan anak. Anakku masih sangat kecil, sekarang dia masih saangat lucu, bahagia. Tapi, jika aku kehilangan pekerjaanku...” keluh Pinneberg tokoh dalam tulisan karya Rudolf Wilhelm Friedrich Ditzen berjudul ‘Lelaki Malang Kenapa Laagi?’.

Tidaklah berimbang jika dalam tulisan ini tak menyinggung nasib para buruh di daerah yang UMK nya belum layak. Sekalipun naik, naiknya berjalan seperti bekicot. Kalaupun naik acap kenaikan sarat aroma politik. Sebab buruh kerap jadi gorengan janji manis politikus sebelum merengkuh tahta bidikannya. Begitulah buruh, tak pernah lepas dari belenggu politik.

Belum banyak bakal calon pemimpin yang mengusung gagasan memperjuangkan kesejahteraan buruh utamanya calon pemimpin daerah. Kalaupun ada yang demikian sangatlah jarang menepati janji-janjijnya, ada satu yang pernah berbincang dengan saya tak usah disebut namanya. Dia pernah bicara bahwa tenaga kerja erat kaitannya dengan lapangan pekerjaan, jika ingin roda perekonomian maju maka upah kelas pekerja mesti diutamakan.
Begitu menurutnya. Pertanyaannya seberapa tersedia lapangan pekerjaan di Gerbang Sumatera ini?.

Bukan rahasia jika muda-mudi daerah ini hengkang ke tanah jawa, bahkan ke negeri Cina, Arab atau Malaysia. Tak jarang terdengar TKI itu muncul dalam pemberitaan, bukan berita prestasinya tetapi sepak terjangnya di negeri seberang dari yang nahas, maaf: digagahi majikan sampai yang naif; mencuri harta majikan. Mengapa demikian? karena di bumi mereka sendiri sulit mendapat pekerjaan dan sukar mendapat upah layak.

Maka tidaklah pongah jika dalam Pemilihan kelak, tulisan ini berharap lahir pemimpin yang berjuang sebaik-baiknya, sebenar-benarnya bagi kaum buruh. Kita mesti optimis, selepas covid-19 lahir pemimpin yang ramah dengan kepentingan isu buruh.
Sangking optimisnya dalam hati saya menjatuhkan pilihan kepada si calon yang demikian itu. Masalah saya memilih atau tidak, itu adalah hak bukan kewajiban.

Ngomong-ngomong ada yang sering dialami pekerja kerah biru, selain menelan janji manis politisi, sih. Apa? Sudah bekerja namun keringat acap kering menunggu upahnya. Sekedar mengingatkan para borjouis model itu mesti hafalan satu hadits shahih agar hubungan dengan proletar tetap dalam tarcknya. ‘Berikanlah kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering’ (HR. Ibnu Majah).

Apakah kita akan memaklumi persoalan upah belum layak atau belum terbayarkan, atau PHK disana-sini? Seharusnya tidak. Bahkan pasangan muda Pinneberg dan Lammchen serta bayi mereka dalam alur cerita ‘Lelaki Malang Kenapa Lagi?’ pun tahu, ada kedzaliman menimpa para buruh. Mari berharap agar MayDay bukan Holiday selamanya, karena anda kehilangan kerah. (*)