(Opini) Cetak Rupiah Solusi Lawan Musibah
-->
Kategori Berita

Label

Iklan

Header Menu

Rabu, 24 Juni 2020

(Opini) Cetak Rupiah Solusi Lawan Musibah




Oleh:

Dinda Fauziatul Huda, Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN, (PKN STAN)
Anggota Keluarga Mahasiswa Lampung STAN (Kemala STAN)

"Sekarang kita dengar ada pandangan masyarakat, jadi untuk mengatasi Covid-19 BI cetak uang saja lalu dibagikan ke masyarakat. Tidak usah khawatir inflasi. Mohon maaf, itu bukan praktik kebijakan yang lazim dilakukan BI," Ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Rabu (6/5/2020).

Wacana cetak uang secara ‘fisik’ yang kemudian dibagi-bagikan ke masyarakat seolah menjadi jalan pintas menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi covid-19. Bayangkan saja, kita duduk diam di rumah kemudian ada yang mengantarkan bingkisan berisi tumpukan uang ratusan ribu yang dibungkus secara rapi, paket dari BI. Suara “paket” dari kurir ekspedisi seakan menjadi irama merdu yang kita nanti-nantikan. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba rezeki datang ke rumah sendiri. Enak, bukan? Begitu kira-kira angan-angan rakyat mendengar  wacana tersebut.

Beberapa minggu lalu Badan Anggaran DPR RI mengusulkan BI untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun. Hal tersebut bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus Corona (Covid-19). Bukan hanya DPR, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, juga mendukung wacana tersebut. Bahkan menurutnya, usul nominal uang yang dicetak jauh lebih besar, yakni sebesar Rp 4.000 triliun. Gita menjelaskan uang tersebut akan menjadi stimulus untuk masyarakat yang kehilangan penghasilan, dan untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM yang porak poranda akibat Corona.

Menyikapi hal tersebut, Gubernur BI menolak mentah-mentah dengan alasan kebijakan itu tidak sesuai dengan kebijakan moneter di dalam negeri. Jelas saja, pasalnya, BI bukan otoritas fiskal yang bisa memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ke masyarakat dari hasil cetak uang sendiri. Stimulus fiskal mungkin dapat berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian rakyat, tapi berbicara soal moneter itu lain cerita.

Proses pengedaran uang antara Bank Indonesia, perbankan, dan masyarakat memiliki mekanisme yang selalu menggunakan kaidah tata kelola yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tidak ada proses di luar itu.

Lebih lanjut, proses pengambilan dan penyetoran uang perbankan kurang lebih mirip seperti proses pengambilan uang di ATM dan penyetoran uang dalam bentuk tabungan oleh masyarakat. Perbankan menyetor uang ke BI bila terdapat kelebihan uang. Hal ini biasanya dilakukan oleh bank dengan posisi Long, yakni suatu kondisi di mana bank mengalami kelebihan likuiditas Uang yang masih layak edar (ULE) dalam periode tertentu.


Cetak Uang Ala BI

Secara teori, Ada dua kebijakan yang bisa diambil Bank Indonesia (BI), kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena pandemi Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif, kebijakan kuantitatif merupakan solusi paling tepat untuk ditempuh dengan cara ‘menambah’ jumlah uang beredar. Lantas bagaimana cara BI ‘menambah’
Sebenarnya uang kartal hanya dicetak ketika ada peningkatan kebutuhan akan uang secara alami dari masyarakat, misalnya menjelang hari raya.  Biasanya BI mencetak uang lebih banyak karena masyarakat perlu untuk membayar zakat, bagi-bagi THR dan sebagainya.

Namun, uang giral (cek, giro, kartu kredit dan telegraphic transfer) dan uang kuasi  (mislanya, surat berharga seperti deposito jangka panjang dan rekening valas) yang beredar dalam sistem perbankan juga sebenarnya merupakan hasil ‘cetak uang’ yang dilakukan BI melalui operasi moneter ,pembelian Surat Berharga Negara (SBN).

Faktanya, berdasarkan siaran pers BI tanggal 6 Mei 2020, BI telah ‘mencetak uang’ sebanyak Rp 503,8 triliun. Dalam rentang Januari hingga April 2020, ada Rp 386 triliun uang yang sudah diedarkan di pasar. Bahkan BI kembali menambah sebesar Rp 117,8 triliun pada bulan Mei. Pencetakan uang tersebut dilakukan melalui pembelian SBN. Mekanisme ini juga dikenal sebagai injeksi likuiditas, Quantitive Easing (QE) bahasa teknisnya, atau menebar uang ke pasar kasarnya. Jadi, bukan merupakan printing money physically.

Bukan hanya melalui pembelian SBN, kebijakan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) yang dilakukan BI dalam sektor perbankan juga otomatis menghasilkan tambahan pasokan uang di dalam sistem perbankan. Sampai saat ini BI telah menurunkan GWM sebesar 200 basis poin (bps) untuk bank umum konvensional, dan 50 bps untuk bank umum syariah. Jika GWM turun, otomatis akan ada money creation atau money supply sehingga pasokan rupiah akan bertambah. Melalui kebijakan ini, likuiditas perbankan pun ikut bertambah sebesar Rp 102 triliun.

Hal ini kemudian didukung dengan kebijakan BI yang memutuskan untuk memberikan jasa giro kepada bank yang memenuhi kewajiban GWM dalam Rupiah baik secara harian dan rata-rata sebesar 1,5% per tahun dengan bagian yang diperhitungkan untuk mendapat jasa giro sebesar 3% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), yang akan berlaku efektif per 1 Agustus 2020, seperti yang dirilis Departemen Komunikasi Bank Indonesia dalam web site resmi BI. Alhasil, likuiditas perbankan saat ini bisa dibilang sangat cukup. Demikian, cetak uang tidak hanya dilakukan secara fisik, melainkan ‘cetak uang’ ala BI dapat dilakukan dengan cara pelonggaran makroprudensial.

Secara konseptual, peredaran jumlah uang di masyarakat akan berpengaruh terhadap nilai tukarnya di pasaran, terhadap mata uang asing. Teori klasik yang selalu diajarkan di kelas ekonomi. Layaknya barang, uang akan jatuh nilainya ketika jumlahnya terlalu banyak. ‘Harga’ uang bisa naik, bisa turun tergantung permintaan dan penawaran. Sehingga wajar jika supply uang membludak, sedangkan demand di pasar sedikit, harganya akan jatuh. Inflasi akan terjadi. Uang tidak ada harganya lagi.

Namun demikian, kebijakan yang diambil BI terbukti ampuh mampu mengendalikan nilai Rupiah. Seperti yang dilansir dari akun Instagram resmi Bank Indonesia, @bank_indonesia, oleh Gubernur BI :

“Rupiah diperkirakan terus alami penguatan menuju level fundamentalnya sejalan dengan menurunnya kepanikan pasar global akibat Covid-19. Penguatan tersebut didukung oleh inflasi yang rendah, defisit neraca pembayaran yang rendah, dan tingginya capital inflow SBN.”

Dalam berita terbaru yang dirilis di situs resmi BI, Jumat (19/6), oleh Departemen Komunikasi juga dilaporkan nilai tukar Rupiah terus menguat seiring aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik. Hingga 17 Juni 2020, nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi 3,75% secara point to point atau 5,69% secara rerata dibandingkan Mei 2020. BI memandang level nilai tukar Rupiah masih undervalued sehingga berpotensi terus menguat dan dapat mendukung pemulihan ekonomi domestik. Potensi ini didukung oleh beberapa faktor esensial, seperti rendahnya inflasi dan terkendali, rendahnya defisit transaksi berjalan, imbal hasil aset keuangan domestik yang kompetitif, dan premi risiko Indonesia yang mulai menurun. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas.

Biodata Penulis:

Nama : Dinda Fauziatul Huda
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Ttl : Banjarmasin, kecamatan Penengahan, 31 Mei 2000
Alamat : Banjarmasin, RT 3, RW 1, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan
Pendidikan Terakhir : SMA KEBANGSAAN Lampung Selatan
Status : Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN