Penulis: Yunizar Adha
(Rakyat yang Rajin Bayar PBB)
(OPINI) Lampung Selatan - Hari ini, jam kini dan detik ini, pribadi penulis masih mengimani bahwa, tujuan dan niat baik para pemangku kebijakan (eksekutif dan legislatif) yang ada saat ini, tak lain hanya demi kebaikan dan kepentingan rakyat yang ada di kabupaten lampung selatan.
Kata-kata di atas sebagai pembuka tulisan ini, agar tidak terjadi persepsi yang menimbulkan kecondongan memihak, apalagi menjilat terhadap salah satu objek yang berperan pada sebuah polemik yang sedang hangat di perbincangkan di berbagai kalangan jenis meja.
Sebenarnya, bukan hanya di meja saja, ada saluran medsos, saluran telfon bahkan saluran microphone. Tapi anggaplah meja itu sebagai penopang dari berbagai macam polemik kepentingan untuk kemaslahatan rakyat.
Jadi, Akhir-Akhir ini berbagai lapisan masyarakat bumi khagom mufakat di bisingkan dengan adanya nada - nada kritis yang terdengar dari dalam gedung DPRD Lampung Selatan. Usut punya usut, nada bising tersebut terkait dengan polemik pergeseran uang rakyat yang ada di lingkup pemerintah kabupaten lampung selatan.
Pergeseran ini sebetulnya bukan untuk kepentingan golongan atau pribadi. Pergeseran ini sekali lagi, hanya untuk kepentingan masyarakat semata. Kalau di kamus, pergeseran ini artinya peralihan, perpindahan atau pergantian. Dengan kata lain, ada pemindahan dari posisi sebelumnya ke posisi yang lain.
Beberapa informasi yang penulis himpun, polemik pergeseran ini mencuat tatkala ada pihak yang merasa di rugikan, yang tak lain adalah beberapa wakil rakyat yang ada di gedung DPRD. Sebab, mereka merasa di kangkangi, atas pergeseran ini yang tanpa persetujuan dan dilakukan sewenang-wenang oleh pihak eksekutif.
Loh kenapa terkesan legislatif merasa di kangkangi? Maklum saja, legislatif juga merupakan kepanjangan tangan rakyat untuk menyampaikan aspirasi yang direalisasikan oleh aksi, serta legislatif juga memiliki kewenangan untuk membahas dan menyetujui serta mengawasi rancangan peraturan daerah mengenai APBD yang diajukan oleh pihak eksekutif.
Ya jelas saja mereka naik pitam, tatkala urusan APBD yang sudah di sepakati bersama, tiba-tiba bergeser tanpa ada komunikasi dan pembahasan yang mendalam. Toh, yang mengesahkan APBD juga mereka, tapi kok giliran ada pergeseran mereka tidak di libatkan? Kalau bahasa lampungnya (MAK CAWA) artinya gak ngomong.
Usut punya usut, yang menjadi point masalah beberapa wakil rakyat ini adalah, terkait dengan pergeseran anggaran yang mengakibatkan pengosongan salah satu anggaran pokok pikiran rakyat (e-pokir) yang telah dirancang sejak tahun sebelumnya.
"Pokir adalah usulan dan aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada DPRD, yang kemudian menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah dan
memiliki peran yang strategis dalam proses pembangunan daerah".
Bahkan terendus isu beberapa proyek perbaikan jalan yang sudah masuk dalam e-planning dan e-pokir DPRD terjadi pergeseran, dengan alasan demi merespon keluhan masyarakat terkait kerusakan jalan yang viral di medsos.
Polemik ini sebenernya sudah lama terdengung dari balik tembok gedung DPRD. Artinya, persoalan ini memang sebetulnya sudah lama menjadi pembicaraan hangat di gedung DPRD. Namun, entah mengapa persoalan ini hingga mencuat ke permukaan, tentu hal tersebut memiliki alasan tersendiri.
Kamis (12/6/2025) lalu, menjadi puncak persoalan ini mencuat. Ruang Paripurna mendadak menjadi tegang, kala Jubir Fraksi Golkar melontarkan kritik keras saat menyampaikan pandangan umum KUPA-PPAS APBD Perubahan 2025, yang di hadiri seluruh OPD, anggota DPRD beserta Bupati dan Wakil Bupati lamsel.
Golkar menuding, tindakan TAPD yang sempat menyentuh Pokir Dewan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap komitmen antara legislatif dan eksekutif. Pihaknya menilai kinerja OPD tidak profesional dan mengkhianati kesepakatan yang sudah disepakati bersama.
Terkait kritikan tersebut, Bupati lamsel Radityo Egi Pratama yang notabennya sebagai orang tua dari pemkab lamsel, dan hadir saat itu juga menyampaikan dan memastikan secara tegas untuk menjamin bahwa anggaran Pokir tetap aman dan akan direalisasikan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.
Sejak saat itu, polemik ini terus mencuat. Bahkan, lontaran kritik itu terus mencuat dari beberapa anggota legislatif dan unsur pimpinan lainnnya. Baik melalui medsos, maupun media daring.
Pertanyaannya, jika pentolan - pentolan fraksi partai bahkan hingga unsur pimpinan turut serta andil dalam kritikan tersebut, apakah hal tersebut juga mewakili daripada seluruh anggota yang ada di gedung DPRD? Rasa-rasanya tidak juga. Sebab, pasca isu itu mencuat, banyak juga anggota DPRD yang membantah pernyataan tersebut.
Dimana hal itu menjadi pandangan yang berbeda bagi sebagian anggota DPRD. Beberapa anggota DPRD lainnya justru menilai, langkah yang di lakukan pihak eksekutif bukan karena kepentingan sebelah pihak atau hanya berdasarkan konten viral saja. Melainkan merupakan respon positif terhadap keluhan masyarakat.
Dilain sisi, Polemik ini nampaknya menjadi sumbu baru yang terkesan lari dari konteks pergeseran anggaran menjadi pergeseran politik. Bagaimana tidak, polemik anggaran seolah menjadi lapangan wakil rakyat dari berbagai partai politik untuk saling sahut di media daring. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang sedang terjadi di dalam gedung DPRD?
Soal sahut menyahut, beberapa anggota DPRD Lamsel secara masif mulai saling angkat bicara di media daring. Pertanyaannya? Apakah iya angkat bicara ini untuk kepentingan rakyat? Atau lagi kepentingan partai? Ataukah kepentingan golongan, atau lagi kepentingan unsur pimpinan legislatif? Ataukah bentuk pembelaan terhadap pimpinan Exsekutif?
Jika di analogikan, agak lucu sebenarnya apabila dalam sebuah keluarga yang beratapkan rumah yang sama, saling sahut menyahut di luar rumah tersebut. Terlepas dari dinamika apapun yang ada di balik tembok rumah, hal itu tak semestinya di pertontonkan kepada khalayak ramai. Sebab, jika permasalahan itu terkuak di publik, dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi yang negatif yang menimbulkan perpecahan bagi keluarga tersebut.
Kembali lagi soal Eksekutif dan Legislatif, terlepas dari apapun dinamika dan polemik yang terjadi, seyogya nya para pemangku kebijakan yang berada dalam satu wadah yang sama, ruangan yang sama, bahkan terkadang dengan meja yang sama, mampu menyingkirkan ego sentral dengan saling berkomunikasi secara baik, saling silaturahmi secara baik. Toh hal itu juga demi kepentingan rakyat. Bukan justru terkesan membuat gaduh dengan saling sahut di media sosial atau media daring.
Kendati demikian, apapun persepsi terkait polemik dalam tulisan ini, hal itu merupakan hak berfikir bagi para pembaca. Tulisan ini bukan semata - mata menilai atau menyalahkan satu sama lain terkait persoalan tersebut. Apabila ada pihak pihak yang merasa di rugikan dengan tulisan ini, penulis secara tulus dan memohon untuk di maafkan. Yang jelas, penulis masih mengimani apapun dinamika yang terjadi antara Eksekutif dan legislatif, hal tersebut tak lain demi untuk kepentingan rakyat lampung selatan.
Pointnya Diakhir tulisan ini adalah, penulis berpandangan, jika terjadi Polemik antara eksekutif dan legislatif yang tidak dewasa dalam berpolitik, dapat merugikan jalannya pemerintahan dan proses demokrasi. Untuk membangun politik yang lebih dewasa, diperlukan kesadaran dari semua pihak untuk menjunjung tinggi etika dan moral politik.
Selain itu, penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas.
Terahir sebelum tulisan ini di tutup, Biasanya ketika sudah menjadi kerabat, baik itu teman maupun keluarga, saat bersilaturahmi, kerabat yang bertamu membawakan oleh-oleh, contohnya seperti kue pancong, kemudian pihak tuan rumah biasanya menyuguhkan minuman makanan atau kopi hangat untuk menemani obrolan. Lalu ketika tamu berpamitan, terkadang pihak tuan rumah membalasnya juga dengan membawakan oleh - oleh, meskipun bukan kue pancong.
Sekian Trimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Tabik Pun!